Beranda | Artikel
Hukum Wasiat
Rabu, 11 Agustus 2004

KITAB WASIAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Kata wasiat diambil dari kata, “ وصيت الشيء أوصيه (aku menyampaikan sesuatu yang dipesankan kepadaku).” Maka, setelah orang yang berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa yang dulu akan disampaikan semasa hidupnya.

Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang, hutang, atau kemanfaatan kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang diwasiati setelah orang yang berwasiat meninggal.

Hukum Wasiat
Wasiat wajib bagi orang yang memiliki harta untuk diwasiatkan.

Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Al-Baqarah 180]

Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ.

“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di sampingnya.” [1]

Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: اَلثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ ابْنَةٌ.

‘Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku ?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka meminta-minta pada orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris kecuali seorang anak perempuan.” [2]

Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” [3]

Apa Yang Ditulis Di Awal Wasiat
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Para Sahabat menulis pada awal wasiatnya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Berikut ini apa yang akan aku wasiatkan kepada Fulan bin Fulan:

“Hendaklah ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak di-ibadahi dengan benar selain Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan bahwasanya Kiamat pasti akan datang tanpa keraguan sedikit pun. Dan bahwasanya Allah akan membangkitkan setiap orang yang ada di kubur. Maka hendaknya ia mewasiatkan kepada keluarga yang ditinggalkannya supaya bertakwa kepada Allah, selalu memperbaiki diri, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika ia benar-benar beriman. Juga mewasiatkan bagi mereka sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anak mereka, ‘Wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kalian sebuah agama, maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Islam.’” [4]

Kapan Wasiat Dipindahkan Haknya
Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang diwasiati kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya melebihi harta peninggalan, maka orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa.

Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

‘(Pembagian warisan) setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah) hutangnya.’” [An-Nisaa’: 12] [5]

Peringatan:
Sehubungan dengan kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat sekarang adalah berbuat bid’ah pada agamanya, terlebih lagi yang berkaitan dengan urusan jenazah, maka termasuk wajib bagi seorang muslim berwasiat agar jenazahnya diurus dan dimakamkan sesuai dengan Sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahriim: 6]

Oleh karena itulah para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dengannya. Riwayat yang menjelaskan hal ini sangat banyak, di antaranya:

Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yaitu Sa’d) berkata pada saat sakit menjelang ajalnya, “Galilah untukku sebuah lahat, dan pancangkanlah di atasnya sebuah bata (patok), sebagaimana yang di buat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]

Peringatan Kedua:
Apabila seseorang mempunyai cabang pewaris yang sudah meninggal ketika ia hidup, maka ia harus berwasiat untuk anak-anak pewaris ini sebanyak apa yang seharusnya menjadi hak mayit atau sesuatu dari hartanya dengan batasan sepertiga. Dan sepertiga adalah banyak. Apabila orang tersebut meninggal, dan tidak berwasiat untuk cucu-cucunya itu, maka mereka diberi bagian yang seharusnya diwasiatkan. Karena ini merupakan hutang atas orang itu, walaupun ia tidak menulisnya. Dan hendaknya sekarang ini pengadilan memberlakukan hal tersebut.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/355, no. 2738), Shahiih Muslim (III/1249, no. 1627), Sunan Abi Dawud (VIII/63, no. 2845), Sunan at-Tirmidzi (II/224, no. 981), Sunan Ibni Majah (II/901, no. 2699), Sunan an-Nasa-i (VI/238).
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan Abi Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).
[4]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 1647)], ad-Daraquthni (IV/154, no. 16), al-Baihaqi (VI/287).
[5]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2195)], [al-Irwaa’ (no. 1667)], Sunan Ibni Majah (II/906, no. 2715), Sunan at-Tirmidzi (III/294, no. 2205).
[6]. Lihat Ahkaamul Janaa-iz, karya Syaikh al-Albani (hal. 8).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/973-kitab-wasiat.html